“Eh lu jangan cuma jago keyboard
donk!”
“Kalo cuma ngetik komentar doang
sih semua bisa!”
“Dateng kajian dong, kasih solusi
kek! Ikut kerja Kek!”
Itu beberapa
komentar ketika ada permasalahan atau isu di lingkungan kampus, lalu merebak di
social media. Tentu kalau sebuah isu menjalar ke socmed, maka setiap orang yang
terhubung akan mudah berkomentar, menimpali, bertanya, menjawab, atau paling
ekstrimnya mencaci. Era socmed memang memicu orang untuk berkomentar lebih
cepat. Pada akhirnya timbul istilah “Jago Keyboard” yaitu julukan yang
ditujukan kepada orang yang cuma berkomentar ramai di socmed, tapi tidak pernah
kerja turun tangan. Pertanyaannya adalah, salahkah menjadi Jago Keyboard?
Jika Jago
Keyboad itu hal yang buruk, yang paling pantas dicaci adalah wartawan,
kolumnis, blogger, dan orang yang bekerja di sektor media. Loh, kok wartawan
dan kolumnis diikutin? Ya iyalah, mereka kan kerja dengan tulisan, apalagi
blogger, mereka berkontribusi lewat tulisan. Wartawan, kolumnis, dan blogger
adalah aktivitas yang keren dan kontributif. Mereka tidak bisa disamakan dengan
orang yang sekadar nyinyir di socmed. Ada beberapa hal yang membedakannya.
Karena itu saya berkesimpulan, tidak semua Jago Keyboard itu jelek, yang
membedakan adalah, hasil karyanya.
Harus
disadari, cara orang untuk berkontribusi dalam suatu hal itu berbeda-beda
sesuai dengan bakat dan kemampuan. Istilah yang ngetrend sekarang adalah,
berkontribusi sesuai passion. Tidak semua orang mampu berbicara di depan umum
dengan baik, tidak semua orang bisa menulis dengan runtut, dan tidak semua
orang bisa turun tangan mengahadapi persoalan lapangan. Terasa aneh jika
seseorang yang nyaman menyampaikan pendapat secara tertulis, dipaksa ikut
sumbang saran di kajian secara langsung. Pasti akan “bisu” dan “gagap” selama
kajian. Tidak sepenuhnya salah kan orang yang tidak sumbang saran kalau ikut
kajian. Kalau saya membayangkan, jika semua orang harus turun tangan di lapangan,
akan terjadi kekacauan. Kalau semua orang yang menyumbangkan pendapat lewat
socmed dicap buruk, lalu siapa yang mengedukasi orang yang aktif di socmed?
Utuh dan Santun
Dewasa ini,
gaya orang yang sumbang pendapat di socmed sangat beragam. Mereka menyatakan
setuju dan tidak setuju dengan berbagai cara. Ada yang menyatakan kesetujuannya
hanya dengan cara like, atau menulis singkat “gw setuju ama pendapat lu” dan
ada yang menuliskannya secara lengkap alasanya. Dan untuk menyatakan
ketidaksetujuannya pun beraneka ragam, dari tidak setuju tanpa alasan, memakai
alasan yang santun sampai caci maki. Pelaku socmed seharusnya menyadari bahwa
respon yang akan diterima akan sangat beragam. Jangan marah ketika respon yang
diterima tidak sesuai dengan harapan. Pelaku socmed memang harus legowo, tetapi
yang kadang bikin sebel adalah, responnya tidak utuh, tidak solutif, dan penuh
caci maki.
Utuh, solutif,
dan santun adalah hal yang dapat membedakan antara Jago Keyboard yang positif,
dengan jago keyboard nyinyir. Pendapat seseorang bisa dipahami orang lain jika
pendapat itu utuh. Utuh yang saya di sini adalah pemberi pendapat melihat
masalah secara utuh, dapat menganalisa dengan baik, dan memberi solusi secara
tepat. Banyak jago keyboard mengomentari masalah tanpa tahu masalah sebenarnya
secara utuh. Ini yang agak bikin sebal. Jika tidak melihat masalah secara utuh,
bisa dipastikan analisanya kacau, dan solusinya serampangan. Ada juga kasus,
pemberi komentar tidak menyertakan solusinya. Orang seperti menggunakan prinsip
ilmu “pokoknya”. Pokoknya ga setuju, pokoknya cari cara lain, pokoknya bukan
dia, dan rasanya ini yang mendominasi di jagad dunia maya.
Pendapat
yang baik akan dipahami secara salah jika penyampaiannya salah. Menyampaikan
pendapat itu harus tepat, baik cara, waktu dan tata bahasa. Cara yang tepat
adalah menggunakan bahasa yang santun, dan menggunakan bahasa yang sesuai
dengan pembacanya. Memperhatikan waktu juga menjadi hal yang penting.
Menginadari caci maki adalah hal yang paling tepat menurut saya. Sayangnya,
menurut saya, sekarang ini terjadi pengaburan makna caci maki. Berbahasa yang
tajam dan keras itu berbeda dengan caci maki. Jadi baik penulis dan pembaca
harus membedakannya. Banyak kolumnis menggunakan bahasa yang tajam, tetapi aneh
kalau bahasa seperti itu dikatakan caci maki.
Melalui Keyboard Menebar Manfaat
Seluruh aktivitas seorang aktivis
kampus saya rasa selalu bermuara kepada mencari ridho Allah dan memberi manfaat
seluas-luasnya. Menebar manfaat itu bisa melalui apa saja. Sumbang saran, baik
lisan maupun tulis, sumbang dana, sumbang tenaga dan sebagainya. Termasuk seorang
Jago Keyboard yang menambakan melalui tulisan, dia bisa memberi manfaat kepada
lingkungan. Itulah yang membedakan Jago Keyboard nyinyir dengan Jago Keyboard
keren. Memberi manfaat adalah tujuannya, bukan sekadar komen nyinyir. Seorang jago
Keyboard juga harus belajar agar manfaatnya tepat sasaran. Jika seseorang yakin
komentar dan sarannya memberi manfaat, maka menulislah, tapi jika tidak maka
diamlah. Semoga seluruh Jago Keyboard tetap belajar dan menebar manfaat. Jadi,
Jago Keyboard tidak selalu negatif kan?
Salam Optimis untuk Indonesia
@Hardian_cahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar