Ku berdiri di stasiun itu, stasiun Kiara
Condong Kota Bandung. Suasananya masih sama, masih sama dengan 3 tahun yang
lalu ketika aku pertama kali menginjak pertama bumi parahyangan ini. Kali ini
aku akan pulang ke kota asalku, Blitar. Aku akan pulang. Tidak ada yang
istimewa dengan kepulanganku ini. Pulang rutin setiap liburan. Di tahun akhir
kuliahku, pulang menjadi hal yang tidak terlalu menarik lagi. Entah Bandung
terlalu indah, atau ini adalah perasaan yang biasa dialami mahasiswa tingkat atas.
Yang jelas, pulang menjadi tak semenarik dulu ketika aku jadi mahasiswa baru.
Keretaku datang. Malabar. Sebuah kereta
yang jadi sahabatku 2 tahun terakhir. Kupersiapkan tiket yang sudah kupesan.
350 ribu. Sial, mahal sekali. Mungkin kalau bukan karena omelan ibuku yang
menyuruhku pulang, rasanya tak sudi aku membeli tiket kereta semahal itu. Lebih
baik rasanya aku beli tiket kereta di hari lain yang mungkin lebih murah. Ibuku
yang tak mau dinego. Aku harus pulang hari itu juga.Tiket dengan tempat duduk nomer
16C. Kereta pun mulai menyusuri rel ke timur. Aku pulang juga akhirnya.
Di kursi 16D sudah duduk seorang ibu.
Kutaksir umurnya kurang dari umur ibuku. Mungkin sekitar 40 tahun. Sepertinya dia
naik dari stasiun Hall Kota Bandung. Aku duduk disampingnya, kusunggingkan
senyuman terbaikku,
“Permisi Bu”
“Silahkan Mas, 16C ya mas”
“Iya Bu”
“Oooo,..silahkan”
Kumulai percakapan standar ketika
seseorang naik kereta. “Turun mana Bu?”
“Turun Blitar Dik, Adik turun mana?”
“Sama Bu, saya juga turun Blitar”
“Di Bandung kuliah?”
“Iya Bu, Di Telkom. Ini lagi liburan mau
pulang.”
Dan obrolanku pun berlanjut. Dari
obrolan itu kuketahui dia alumni SMA yang sama dengan SMAku. Tertebaklah jika
ada dua alumni beda generasi bertemu, obrolan berlanjut tentang SMA. Cerita semasa
berseragam putih abu-abu kembali mengemuka. Obrolan itu menjadi menyenangkan.
Kereta terus membawa kami timur. Stasiun
demi stasiun terlewati. Pedagang asongan, pegawai Reska, security, dan teknisi
hilir mudik menemani perjalanan ini. Beginilah suasana kereta, angkutan murah
nan bebas macet.
“Kapan
libur dik? Liburnya lama?
“Liburnya sudah seminggu lebih yang lalu
bu, liburnya sekitar sebulan.”
“Loh kok baru pulang sekarang?”
“Iya Bu, males pulang. Ini kalau ga
diomelin Ibu, paling pulangnya seminggu lagi. Ibu sendiri di Bandung ada urusan
apa?”
“Ngeterne
anak. Aku nduwe anak loro. Sing gede lanang, saiki kelas 5 SD, sing cilik
wedok, saiki kelas 3 SD. Saiki aku dianggep wae ra nduwe bojo. Bojoku lunga ga
ngerti nang ngendi. Ga jelas. Yo wis, aku nggedekne anak dhewe. Tapi, setahun
iki aku kudu nggrawat Bapakku sing wis tua. Bapakku saiki lara-laranen. Ya aku
kudu sing nggrawat, lha kangmas mbakku ora enek sing urip ning Blitar. Akhire
waktu lan biayane kesedot ning Bapakku. “
(“Nganterin anak. Aku punya dua anak.
Yang besar laki-laki, sekarang kelas 5 SD, yang kecil perempuan, sekarang kelas
3 SD. Sekarang anggap saja aku ga punya suami. Suamiku pergi ga tahu ke mana.
Ga jelas. Ya sudah, Aku besarin anak sendiri. Tapi setahun terakhir, Aku harus merawat
Bapakku yang sudah tua. Bapak sekarang sakit-sakitan. Ya aku yang harus
merawat, karena saudara sudah ga ada yang tinggal di Blitar. Akhirnya waktu dan
biaya tersedot untuk Bapakku”)
Dia berhenti sejenak. Aku pun terdiam
saja. Dia melanjutkan ceritanya dengan suara berat dan dalam. “Aku dadi mikir piye dadine anakku. Aku
kangelan biayane, lha saiki sekolah pada larang. Masku sing tinggal ning Cimahi
nawari nggrumat anakku. Masku janji nanggung sekolah lan uripe anakku. Asline
aku ya ora tega ninggal anak, tapi ya piye wis kahanane ngono”
(Aku jadi berpikir bagaimana jadinya
anakku. Aku kesulitan biayanya, sekarang sekolah mahal. Kakakku yang tinggal di
Cimahi menawari merawat anakku. Kakakku janji menanngung sekolah dan kehidupan
anakku. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan anak, tetapi bagaimana lagi
sudah keadaannya begini.)
Terdiam aku mendengar ceritanya. Mataku
tak beralih dari ibu itu. Beban berat kehidupannya seketika merasuk ke dalam
diriku seakan aku berdiri di setiap episode kehidupannya. Dia tetap memaksakan
diri untuk tersenyum, entah untuk menghibur dirinya sendiri atau dia tak mau
aku ikut dalam kesedihannya.
Berpisah dengan anak-anaknya yang masih
kecil pasti sangat berat baginya. Dia bercerita bahwa yang mengantarkan dia di
stasiun hanya anaknya yang lelaki. Dia tidak berani mengajak putrinya. Dia tahu
itu akan menjadi hal yang berat bagi putrinya, berpisah dengan ibundanya. Namun
ku rasa, itu akan terasa lebih berat bagi dia. Meninggalkan putri yang
sewajarnya ada di pelukannya.
Sesaat kemudian teleponnya berdering.
Sebuah panggilan dari putrinya. Dipaksakan dirinya untuk berkata “Halo” dengan
riang agar putrinya tak terlalu sedih. Tapi menutupi perasaan tak semudah yang
dikira. Pecahlah tangisannya. Tersengguk dia menjawab pertanyaan putrinya yang
juga dalam tangisan. Berat kawan jika engkau menyaksikan langsung. Ditutupnya
telepon itu dengan salam yang coba dimaniskan. Setelah itu terisak lagi.
Setelah menyeka air matanya dan
menenangkan diri, dia kembali berkata kepadaku,
“Dik, kalau ada waktu pulang, coba
segera pulanlah. Anak laki-laki memang biasanya senang merantau, tetapi yang
harus diingat, ada ibu yang menunggu di rumah. Kalau anak-anaknya ga ada yang
di rumah, ibu itu merasa sepi. Mumpung masih kuliah, ada waktu libur, pulanglah.
Kalau adik sudah kerja, di Jakarta atau di Bandung, susah untuk pulang. Kasihan
ibu di rumah. Ibunya pasti seneng lo Dik kumpul sama anak-anaknya”
Kali ini aku yang tertegun. Aku serasa
berhadapan dengan aku yang lain. Kami bertatapan dan berkontemplasi bersama.
Apakah aku langsung pulang jika aku liburan? Seberapa sering aku memikirkan
penantian ibuku untuk aku pulang? Dan, seberapa pentingkah arti pulang bagiku?
Aku tidak langsung memberi respon atas
kata-kata ibu itu yang rasanya sebuah hantaman 500 kilogram membentur dadaku.
Aku tidak tahu respon yang terbaik apa. Aku tidak tahu, karena aku belum
berhasil dan selsai atas kontemplasiku. Senyum dan anggukan merupakan respon
terbaikku saat itu.
Kereta ini trus membawaku ke timur.
Malam sudah semakin larut. Hening. Hanya terdengar suara kaki-kaki besi kereta
ini yang menapak di lintasan rel. Hampir semua penumpang sudah terlelap, tetapi
aku masih dalam kebingunganku. Ah, sudahlah. Mungkin esok pagi akan kutemukan
jawabannya. Ketika aku menjejakkan kakiku di kotaku. Ketika aku bertemu dengan
ibuku.
Salam cinta untuk Indonesia
@Hardian_cahya
luar biasa
BalasHapustepuk tangan
hehe
Terkadang, memang ada rasa malas untuk pulang ketika di perantauan. Tetapi, ada satu hal yang membuat kita pada akhirnya luluh untuk pulang, yaitu KELUARGA.
BalasHapusCatatannya bagus. Saya suka. :)