Ruang tunggu ini tidaklah terlalu luas. Hanya 5x5
meter, terdapat 9 kursi dan 3 meja. Namun
ruang itu dipenuhi beberapa orang yang hendak menonton film pendek. Aku kira
ada 20 sampai 30 orang disitu. Beberapa berdiri, beberapa memilih menunggu
sambli merokok di luar. Aku datang sendiri ke tempat itu. Aku menemukan hobi
baru, menonton film pendek. Duh, serasa seniman sekali. Padahal soal nada, aku
tak bisa bedakan antara fals dan etnik. Menggambar? Mungkin lukisan pemandangan
dua gunung dan sawah yang kubuat pada waktu SMA adalah karya terbaikku.
Berdiri sambil melihat ke handphoneku. Mungkin ada
yang menghubungiku. Ternyata tidak, sepi. Seperti malam minggu yang lain. Semua
orang di situ terasa normal. Hanya satu orang yang menarik perhatianku. Seorang
lelaki yang duduk di pojok. Kulitnya putih, bermata sipit. Aku kira umurnya
tidak lebih dari 30. Berkaus hitam, bercelana katun hitam, dan bersepatu
pantofel hitam bersih. Rapi sekali untuk sekelas orang yang hobi menonton film
pendek. Dia nampak ada yang dipikirkannya. Sesekali dia melihat HPnya, berharap
sesuatu muncul dari layar. Nihil. Dia memasukkannya lagi ke saku celana. Lima menit
berselang, kembali dia meliahat HPnya. Nihil lagi. Pandangannya kembali
melayang ke semak gelap di sebelahnya. Sangat terlihat dia ingin menghibur
diri. Bosan dengan semak, pandangannya melayang ke penonton yang lain. Pandangan
kosongnya menggambarkan dia ingin pergi ke suatu tempat saat itu.
Ketika film akan
diputar, dia masuk pertama ke theatre. Mungkin berharap tidak seorangpun
mengenalinya dan dia akan nyaman bila di dalam gelap. Hai, pernahkah kalian
juga merasakan bahwa gelap merupakan tempat paling aman dan nyaman bila kalian
tak ingin berjumpa dengan siapa-siapa? Ketika film benar-benar dimulai, semua
terdiam. Semua aman dalam kegelapan. Tidak ada yang membedakan kau datang
sendiri apa tidak. Setelah film selesai, penonton langsung pergi ke pintu
keluar. Namun pria berkaus hitam ini tidak. Duduk-duduk dulu, seakan dia
berharap akan terputar film lagi, ruang gelap lagi, dan dia aman lagi.
Seminggu Kemudian
Kembali aku ke ruang tunggu ini. Kali ini aku bersama temanku. Seperti
biasa, ramai. Rokok, buku, dan perbincangan tentang film kembali memenuhi
ruangan itu. Hey, aku melihat pria itu lagi. Pakaiannya sama seperti minggu
lalu. Berkaus hitam, bercelana katun hitam, dan bersepatu pantofel hitam. Bersih
dan rapi, seperti minggu lalu. Kali ini dia lebih gelisah dari minggu lalu. Gusar
sekali. Pandangannya liar tapi kosong. Sering memandang ke bawah. Ke sepatu
hitamnya. Mau apa dia? Sedang apa dia? Mau merampok di sini? Di sini hanya ada
roll film pendek. Tidak lebih. Semaniak-maniaknya orang yang gemar film tidak
akan merampok roll film.
Aku bertanya ke temanku, “Hey, apakah mungkin ada orang yang berencana
merampok bioskop film pendek?”
“Kalau dia intel, yang mungkin saja.”
“Apakah mungkin pria berkaus hitam itu intel?”
“Ah, dia terlau gagah, tak seperti Ethan Hunt.”
“Otakmu hanya film Hollywood saja. Memangnya intel segagah ethan hunt
yang mencokok maling sandal atau bandar ganja?”
Aku kembali memperhatikan pria berkaus hitam itu. Walau lebih gusar
dari minggu lalu, dia tidak menyentuh HPnya kali ini. Tanggan dan kakinya
nampak tak bisa diam. Sesekali berdiri, dan duduk lagi. Ah, terlalu mencolok
untuk ukuran intel.
Seminggu Kemudian
Kali ini aku sendiri. Ke ruang tunggu ini. Entah kenapa aku malah
mencari intel berkaus hitam itu. Aha, dia ada. Berkaus hitam, celana katun
hitam, dan bersepatu pantofel hitam. Bersih dan rapi. Sama seperti
minggu-minggu sebelumnya. Yang paling aku ingin lihat adalah ekspresinya. Minggu
ini nampaknya dia sedang bersedih. Hanya tertunduk ke bawah. Matanya tak liar
seperti biasanya. Menunduk saja. Helaan nafas yang dalam sesekali terdengar. Hanya
diam.
Seminggu Kemudian
Aku bukan homoseksual, aku tidak jatuh cinta pada lelaki berkaus hitam
itu, namun entah aku berharap dia ada di ruang tunggu itu. Ketika aku sampai di
sana, dia ada. Mungkin aku sudah terobsesi pada sesuatu yang tidak wajar. Masih
sama, berkaus hitam, bercelana katun hitam, dan sepatu pantofel hitam. Bersih dan
rapi. Kali ini wajahnya sangat kalem. Aku melihat sebuah senyum yang sangat
dalam. Sebuah keihlasan akan bisa dilihat siapa saja. Sebenarnya ada apa dengan
orang ini? Daripada aku lebih terobsesi pada orang ini, aku mendekatinya. Hey,
sekali lagi aku bukan homoseksual. Aku mendekat kepadanya, dan aku menyodorkan
tanganku. Hendak kujabat tangannya. Dia menjabat tanganku. Aku bertanya
kepadanya, “Sebenarnya apa yang terjadi kepadamu?”
“Semua sudah berakhir, dan aku mengikhlaskannya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar