Masih teringat ketika Mas Anies Baswedan ditawari dan memutuskan ikut dalam konvensi Partai Demokrat pada sekitar bulan Agustus atau September tahun 2013. Rasanya kala itu, Mas Anies cukup popular di kalangan aktifis sosial dan pendidikan, namun namanya sangat asing jika kita bertanya ke masyarakat pada umumnya. Ada sebelas peserta yang ikut konvensi. Ada yang sudah sangat terkenal dan mempunyai logistik tempur yang cukup kuat seperti Pak Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, Dino Patti Djalal, dan Pramono Edhi. Saya lupa di posisi berapa popularitas Mas Anies saat awal konvensi, namun melihat hitungan di atas kertas, rasanya sulit sekali memenangkan konvensi. Namun apa yang dikatakan Mas Anies kepada relawan Turun Tangan saat itu? Jika hanya melihat hitungan di atas kertas, pejuang kita tidak akan angkat senjata melawan penjajah. Jika hanya melihat hitungan di atas kertas, pendiri republik ini tidak akan menuliskan janji kemerdekaan di konstitusi kita. Kalau kita pejuang, Hadapi. Dan akhirnya yel-yel dari Turun Tangan saat itu: Pejuang bukan? Hadapi!!!
Pengambilan resiko dalam ketidakmungkinan inilah yang sekarang diambil oleh Agus Harimurti Yudhoyono. AHY ditawari oleh kelompok Cikeas untuk menjadi calon gubernur dipasangkan dengan Sylviana Murni. Di atas kertas, AHY sangat tertinggal jauh dengan petahana. Di beberapa lembaga survey saat itu, AHY tidak diperhitungkan dalam tiga besar. Namanya kalah dengan Ridwan Kamil atau Bu Risma. Jika menerima tawaran itu, resikonya sangat besar. Dia harus keluar dari TNI, tempat di mana dia memulai karir. Karir TNInya pasti tamat. Dengan segala kemungkinan dan resiko itu, dia mengambil juga tawaran dari kelompok Cikeas.
Dan selama empat bulan masa kampanye, AHY dan teamnya terlihat sekali gencar dan ekstra keras dalam usaha mengambil hati rakyat Jakarta. Istilah yang dipakainya, bergerilya. Logistik yang dipersiapkannya pun juga tidak main-main. Tercatat AHY menghabiskan dana kampanye paling besar di antara calon lain yaitu sebesar 68M lebih. Dukungan dari mesin partai pendukungnya pun sangat kuat. Di awal-awal survey, posisinya sekitar 25%. Masih jauh dari petahana. Dan dia terus berusaha untuk mengejar ketertinggalan itu.
Di sisi lain, kemampuannya dalam berkomunikasi dan berorasi semakin membaik. Pada penampilan di debat Cagub-Cawagub resmi dari KPU, kharismanya mulai keluar. Tidak menampilkan performa memuaskan di debat pertama, dia terus memperbaiki di debat selanjutnya. Bahkan di debat final, menurut saya performanya lebih keren dibanding dengan Mas Anies. Program yang ditawarkan mulai tajam dan taktis. Tidak mengawang-awang dan menonjolkan sisi emosi seperti di debat pertama.
Seluruh usaha pada akhirnya ditentukan oleh penduduk Jakarta. Hari ini, pengadilan atas ketiga calon terjadi. Menurut hasil hitung cepat, AHY mendapatkan suara sekitar 18-19%. Dan malam ini, beliau sudah mengakui kekalahannya. AHY ditinggalkan Ahok dan Mas Anies yang memperoleh suara di angka sekitar 40%.
Banyak yang menertawakan, membuat lelucon, mengktitik, menghina, dan merendahkan AHY. Bahkan dia disamakan dengan Noorman Kamaru. Label pengangguran pun dilekatkan pada dia. Komentar “tuh kan, meding tetap di TNI” atau “Rasain lu, kalah tapi ga bisa balik jadi TNI” banyak sekali beredar di sosial media. Namun, pandangan saya terhadap AHY ini agak berbeda. Saya mungkin akan melabeli dia “Pejuang”.
Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak pernah dimenangkan, begitu kata Friedrich Schiller. AHY berani mengambil segala resiko untuk bertarung di pilkada ini. Jika ia memlih jalan nyaman, pasti dia akan menolak tawaran itu. Karir di TNInya cukup bagus. Di TNI pun rasanya jarang dikritik, dihina, dan direndahkan oleh masyarakat. Namun dia memlih jalan yang terjal ini untuk berjuang. Saya tidak membahas bagaimana proses penunjukannya, namun pada akhirnya dia menerima jalan ini. Dia benar-benar berani lompat di sebuah jalan, yang bahkan di atas kertas mengatakan dia akan gagal. Tapi dia memlih menghadapi. Itulah pejuang. Karena itu saya lansung teringat dengan Mas Anies di konvensi partai Demokrat tahun 2013.
Setidaknya, AHY akan berkata bangga di anaknya bahwa ayah berani mengambil resiko besar di hidupnya untuk memperjuangkan sesuatu. Dia tidak takut untuk dicemooh, dicaci, dihina oleh orang-orang yang bahkan mungkin tidak pernah mengambil resiko besar di hidupnya untuk memperjuangkan sesuatu. Bahkan saya malu sendiri karena saya pun belum pernah mengambil resiko yang mengubah hidup saya. Di saat orang-orang asik mencemooh di jalan nyamannya, AHY memilih berjuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar