Pertanyaan itu menggelantung terus tanpa jawaban, atau jawabannya terlalu banyak. Dan pada akhirnya ingatanku flash back ke sebuah IG story dari seorang ibu yang mengajarkan anaknya untuk duduk tenang dan diam. Anaknya sangat aktif, bertidak sesuka hati, meloncat ke sana ke sini, hiraukan semua masalah di muka bumi ini. Akhirnya ibunya mengajarkan anaknya untuk menghargai diam dengan cara anaknya harus duduk di sofa dengan waktu tertentu. Setelah waktunya selesai, anaknya akan mendapatkan sesuatu yang diinginkan, menonton movie yang dia suka misalnya. Delayed Gratification Training istilahnya. Mendidik anak untuk mendapatkan sesuatu melalui proses.
Kalau saya melihat bukan di sisi itu. Saya melihat itu cara ampuh untuk melatih kita untuk menghargai diam, sepi, dan kelambanan. Dunia ini menurut saya serba terburu-buru, cepat, dan kadang kala instan. Dan saya mulai merasakannya. Setiap libur, saya selalu sibuk merancang mau ke mana, dengan jadwal yang penuh. Saya tidak pernah benar-benar menikmati Jakarta. Saya mulai berpikir, mungkin saya melewatkan banyak hal di Jakarta. Oke, saya putuskan saya tetap mengambil cuti, namun tidak ke mana-mana. Saya akan tetap di Jakarta.
Entah kapan saya terakhir kali sarapan bubur ayam di gang sebelah tanpa diburu waktu. Dan begitu saya melakukan hal sesederhana itu, saya begitu menikmatinya. Ngobrol dengan abang-abang bubur tanpa berpikir setelah ini saya harus ke mana. Siangnya saya masih punya waktu membersihkan kamar kos saya. Dan sore harinya, saya masih bisa baca buku di Reading Room, tempat favorit saya untuk menghentikan waktu dan berbincang dengan buku.
Dan hari-hari berikutnya saya habiskan untuk berkeliling Jakarta di tempat-tempat yang tidak umum bagi saya atau waktu yang tidak umum. Hei,.. ternyata ke kota tua di week day adalah sebuah kemewahan bagi pekerja kantoran seperti saya. Menemukan coffe shop yang asyik yang tidak pernah saya coba sebelumnya. Menemukan bubur ayam atau sate ayam yang enak. Atau sekadar menikmati kota tua sore hari yang sepi. Iya, mungkin saya tidak pernah menikmati Jakarta selamban ini. Namun di saat itu saya benar-benar hadir di Jakarta.
Yang menarik bukanlah Jakarta nya, yang menarik bukanlah coffe shop, bubur ayam, atau kota tua. Yang menarik adalah waktu. Waktu yang bisa saya nikmati tanpa diburu sesuatu, tanpa emosi negatif, dan watu di mana momen-momen sepi bisa saya rasakan. Dan pada akhirnya saya tidak melewatkan liburan panjang ini di Jogja, Solo, atau Ubud. Cukup di Jakarta saja bersama sepiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar