Saya tertarik membaca buku ini
setelah saya mendengar resensi buku ini melalui siniar Homecoming with Leila Chudori.
Saya belum pernah mendengar nama Felix K. Nesi sebelumnya. Akhirnya saya
langsung meluncur ke laman penerbit Marjin Kiri. Singkat cerita buku ini mendarat
di meja saya. Saya mulai “terbang” ke Oetimu, sebuah daerah pelosok NTT.
Orang-orang Oetimu adalah novel yang
dilatarbelakangi oleh peristiwa di Timor di awal tahun 90an yang penuh dengan
konflik dan tragedi. Orang-orang yang terlibat dalam sebuah konflik selalu
mempunyai cerita sendiri. Terlalu naif untuk menilai hitam putih dalam sebuah
konflik. Cerita setiap orang itulah yang coba ditangkap oleh Felix.
Novel ini dimulai dari sebuah
peristiwa penyerangan ke sebuah rumah di malam final piala dunia 1998. Seorang
polisi berpangkat sersan bernama Ipi, menjemput seseorang warga untuk menonton speak
bola di pos polisinya karena desa itu hanya mempunyai 3 televisi. Kemudian
Felix menarik pembacanya ke tiga generasi ke belakang dan mulai mengenalkan
karakter lain. Jadi, tokoh utama dari novel ini siapa? Tidak ada. Ya, tidak
ada.
Persis dengan judul bukunya, buku
ini adalah kumpulann cerita orang-orang Oetimu dan kisah latar yang
menyertainya. Felix menceritakan seorang tokoh di setiap bab, dan pada akhir
bab, dia mengenalkan tokoh lain. Felix selanjutnya menceritakan latar belakang
tokoh lain itu di bab berikutnya. Begitu seterusnya. Kita akan mengerti peran
setiap tokoh di akhir novel yang kembali ke malam piala dunia itu. Jadi alur
yang dipakai seperti lingkaran.
Kita akan mengenal nama Sersan
Ipi, Laura, Am Siki, Romo Yosef, Silvy dan sebagainya. Dan setiap tokoh
mempunya kisahnya sendiri-sendiri namun saling tersambung. Saya kesulitan menceritakan
buku ini sinopsisnya seperti apa, karena novel ini memang tidak setia pada satu
tokoh.
Hal pertama yang saya suka dari
novel ini adalah kejeniusan Felix dalam merangkai simpul-simpul karakter dan
ceritanya yang akhirnya membentuk alur utuh berbentuk lingkaran. Tidak mudah menulis
dengan teknik ini karena kita harus meyakinkan pembaca bahwa tokoh yang
dikenalkan tidak sekadar tempelan.
Hal kedua adalah sindiran Felix
ke beberapa pihak melalui ceritanya. Tentara, gereja, dan orang pulau jawa
tidak luput dari sindiran Felix. Saya merasa ini bukan sekadar sindiran, tapi
sudah menjurus ke sinikal. Dia menyindir pihak-pihak itu melalui tokoh dan
respon tokoh terhadap peristiwa yang menimpanya.
Ketiga adalah latar belakang sosial
dia deskripsikan dengan sanagat jelas. Komponen muatan local seperti minuman, nama
benda, dan tempat tidak hanya tempelan, namun ikut mendukung pembentukan
karakter.
Selanjutnya adalah kemampuan
Felix untuk membangun nuansa tragedi walaupun dengan uraian deskriptif. Saya
bisa merasakan bagaimana perasaan Laura yang terkatung-katung sehabis digilir tantara.
Saya bisa merasakan kesedihan Maria setelah ditinggal mati suami dan anaknya,
dan bisa merasakah bagaimana kecemburuan dan rasa frustasinya Romo Yosef.
Untuk kekurangannya, saya sangat
setuju dengan Leila Chudori bahwa Felix menggambarkan adegan seks dengan sudut
pandang yang sangat maskulin. Felix perlu meriset lagi apa yang sesungguhnya
dirasakan perempuan saat berhubungan badan. Di novel ini memuat cukup banyak
adengan seks, sehingga memang sebaiknya dibaca oleh orang dengan umur 18 tahun
ke atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar