Saat itu tengah malam seingat saya. Saya masih terjaga di kamar kost saya. Entah apa yang saya lakukan saat itu, tapi kemungkinan besar sih nonton film. Telepon berdering, ada panggilan dari kakak saya. Dua kalimat singkat. “Bapak sedo, coba telponen Ibuk!”. Dengan cepat saya menelepon ibu saya. Diangkat, namun hanya suara tangis yang terdengar. Akhirnya teleponnya diambil oleh Pak Mus, tetangga saya. Dia menceritakan dengan lengkap kejadiannya.
Singkat cerita saya menjejakkan kaki di rumah siang hari. Dengan
cepat, jenazah diberangkatkan ke kota ponorogo, tempat makam ayah saya
berdasarkan diskusi keluarga. Alhamdulillah pemakaman berjalan dengan cepat.
Tidak ada kendala satupun. Malam itu juga kita kembali ke rumah di Blitar.
Apakah saya menangis saat itu? Tidak sama sekali. Bahkan
saat perjalanan ke rumah pun saya masih sempat mengitung waris. Bukan karena
ingin warisan, tapi karena itu syariatnya berdasarkan kajian di kantor. Dari
rumah ke pemakaman pun saya masih bisa menyetir dengan baik meskipun waktu
tempuhnya sekitar 2 jam dengan kecepatan tinggi.
Saya takut ketika saya tidak sedih ketika ada kematian
keluarga sendiri. Apakah hati saya sekeras itu? Ternayat tidak. Kesedihan akan kematian
saya rasakan perlahan saat momen tertentu. Sesal dan rindu adalah dua rasa yang
mendominasi setelah kematian.
Ahhh… sesak rasanya ketika menulis ini. Mulai dari situlah
saya membenci menjadi orang dewasa, karena seiring kita mendewasa, orang di
sekitar kita juga menua. Walau kematian itu nomor cabut bukan nomor urut, tapi
menyaksikan orang sekitar menua itu menyedihkan.
***
Tema ke 22 adalah kematian. Semoga menjadi pengingat kita
semua.
Photo by Glen Hodson on Unsplash
Tidak ada komentar:
Posting Komentar