Dan saat itu pun tiba. Saya datang ke rumahnya malam hari. Saya ketuk-ketuk pintu rumahnya dengan lembut. Setelah saya ketuk berkali-kali, pintu terbuka. Dari balik pintu muncullah Tuan Sapardi. Saya menyapanya, “Tuan, Tuhan bukan? Tunggu di luar, saya sedang berdoa sebentar.”
Siapa yang
tidak kenal Joko Pinurbo? Seorang penyair asal Yogyakarta ini telah banyak
menelurkan karya buku puisi. Puisi dengan karakter pendek, sederhana namun
nakal ini menjadi salah satu penyair yang karyanya saya koleksi, baik fisik maupun
digital. Jika meminjam isitilah dari Om Rane dari @kepobuku, Joko Pinurbo ini penyair
yang efektif dalam penggunaan kata.
Karyanya tidak
lepas dari sosok Sapardi Djoko Damono, penyair legenda asal Solo yang Joko
Pinurbo sendiri mengaku bahwa dia banyak belajar dari Sapardi pada awal karir kepenulisannya.
Banyak karya Sapardi yang dikenal luas bahkan oleh orang yang bukan penggemar
sastra. Romantis, diksi keren, dan sekaligus mistis untuk menyihir pembacanya.
Gaya kepenulisan ini yang coba ditiru oleh Joko Pinurbo hingga Jokpin menemukan
sendiri gaya kepenulisannya.
Interaksi Joko
Pinurbo dengan karya Pak Sapardi ini sudah sangat lama, namun kali ini Joko
Pinurbo menuangkan kisah interaksi dirinya dengan karya Pak Sapardi dalam
bentuk prosa. Puisi yang “diterjemahkan” adalah puisi berjudul Pada Suatu Pagi
Hari. Karya prosa itu diberi judul Sirmenanti. Mungkin Srimenanti ini bisa dikategorikan
sebagai novella. Ini adalah novella pertama Joko Pinurbo.
Sebenarnya ini bukan
penulisan interaksi dan apresiasi pertama dari Joko Pinurbo. Joko Pinurbo sudah
memprosakan puisi yang sama dalam bentuk cerpen yang diberi judul Laki-Laki
Tanpa Celana yang diterbitkan di Harian Kompas. Kemudian Joko Pinurbo meneruskan
interpretasi puisi Pada Suatu Pagi Hari dalam bentuk yang lebih Panjang yaitu
prosa novella, sehingga lahirlah Srimenanti ini.
Srimenanti
berkisah interaksi dua orang yang bertemu secara tidak sengaja, yaitu
Srimenanti dan Penyair. Mereka dipertemukan dalam sebuah lorong dalam keadaan hujan.
Kemudian interaksi kedua orang ini dilanjutkan dalam proyek kesenian hingga
pertemuan yang intens di lingkungan seniman di Yogyakarta.
Srimenanti
adalah seorang pelukis yang mempunyai masa kecil yang tidak menyenangkan. Trauma
itu terus mengikutinya hingga dewasa. Ayahnya adalah aktifis 65 yang dihilangkan
paksa oleh pihak berwajib. Keluarganya menanggung stigma yang tidak
menyenangkan dari masyarakat. Dia terus belajar melukis, salah satunya belajar
dari pelukis kenamaan Nasirun.
Penyair adalah
anak muda yang sedang memulai karir kepenulisan puisi. Dia sangat mengagumi
Sapardi Djoko Damono sampai ingin bertemu di rumah Pak Sapardi. Setelah banyak menulis,
belajar dan berinteraksi dengan Pak Sapardi, penyair berhasil menerbitkan
sebuah buku kumpulan puisi.
Hal yang sangat
menarik dari Srimenanti ini adalah, kisah ini dikisahkan dari dua sudut pandang
tokoh utamanya, yaitu Srimenanti dan Penyair. Dua sudut pandang ini dituliskan
dalam sudut pandang pertama, dan keduanya dicampur dalam bab-bab kecil. Pembaca
akan gemas dan sedikit kesulitan dalam menentukan siapa yang sedang berkisah
pada bagian awal. Pada bagian tengah hingga akhir, pembaca sudah terbiasa dan
paham siapa yang sedang bekisah.
Jika kita
berbicara tentang plot kisah, mungkin ini bukan novella dengan plot yang sangat
menarik atau plot yang romantis. Novella ini bertitik berat pada kepenulisan diksi
dan puisi, sehingga buku ini akan membosankan dalam hal plot cerita. Pada
akhirnya buku ini menjadi sangat segmented untuk kalangan penggemar puisi
terkhusus penggemar Joko Pinurbo atau Pak Sapardi.
Jika kamu adalah
penggemar puisi, buku ini sangat cocok untuk kamu untuk menikmati puisi dalam bentuk
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar