Setelah saya membaca kembali buku pertama dari tetralogi Pulau Buru, yaitu Bumi Manusia, akhir pekan ini saya menyelesaikan buku kedua yaitu Anak Semua Bangsa. Dalam buku kedua ini, Pramoedya Ananta Toer melanjutkan petualangan intelektual seorang Minke
Sebelum saya
membahas tentang buku Anak Semua Bangsa, izinkan saya memberi kilasan latar
cerita dari tetralogi Pulau Buru ini. Ini adalah kisah seorang remaja bernama
Minke. Dia adalah pribumi seorang anak bupati. Sebagaimana anak pejabat
lainnya, Minke mendapat kesempatan bersekolah di HBS Surabaya. Latar waktu
dalam kisah ini sekitar 1890, tahun saat Ratu Wilhelmina diangkat menjadi Ratu
Belanda.
Saat itu, masyarakat
terbagi menjadi tiga kelas utama. Lapisan paling bawah adalah pribumi. Di atas
itu adalah lapisan indo (anak belanda-pribumi, china, dan arab. Lapisan paling
atas adalah totok belanda. Semakin ke atas, kedudukan sosialnya semakin tinggi.
Kedudukan di mata hukum juga dipengaruhi oleh lapisan kelas manusia ini.
Pada buku
pertama, Bumi Manusia, menceritakan awal kesadaran seorang Minke terhadap ketidakadilan
terhadap pengelompokan kelas ini. Diawali dengan keinginan Minke untuk
kebarat-baratan, dia justru disadarkan oleh Nyai Ontosoroh atas kesamaan harkat
martabat manusia. Seharusnya semua manusia mempunyai derajat yang sama. Bumi
ini tidak diciptakan untuk ras tertentu, karena ini bumi untuk semua manusia.
Setelah
kesadaran atas persamaan harkat martabat manusia, dalam buku kedua ini, Pram
menceritakan tentang awal kesadaran Minke akan nasionalisme. Kesadaran
nasionalisme ini datang dari pengamalam untuk mengenal bangsa sendiri dan
dialog dengan orang yang mengetahui kisah bangsa lain. Mengenal bangsa sendiri
ini dimulai dari pertemuan Minke dengan Trunodongso, seorang petani yang
ditindas oleh pabrik gula milik belanda. Minke melihat langsung penderitaan
petani atas tindasan korporasi besar.
Berlanjut ke
pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang pelarian Tiongkok yang akhirnya
menjejak di Surabaya. Dialog dengan Khouw Ah Soe ini membuat Minke mendapat
pengetahuan baru tentang kisah di Tiongkok dan di negara lain yang
memperjuangkan kepentingan pribumi atas penjajah. Ditambah lagi dialog Minke
dengan Tuan Ter Haar di atas kapal dalam perjalanannya ke Betawi. Minke
mendapat sudut pandang lain tentang penentuan nasib suatu kaum oleh kaum itu sendiri,
bukan oleh penjajah yang datang.
Akumulasi dari
pengetahuan dan pengalaman itu memicu Minke untuk mulai membayangkan, apa
jadinya Hindia tanpa Belanda. Bayangan tentang pribumi bisa memegang kendali
atas bangsa sendiri. Bayangan apa yang sekarang disebut dengan nasionalisme.
Seperti buku
pertama, saya bisa membagi buku Pram ini menjadi tiga bagian. Bagian pertama
adalah kisah yang menjelaskan tentang kondisi psikologi yang dialami oleh
Minke. Bagian kedua adalah mulainya kesadaran dan pemikiran baru akan sesuatu.
Bagian ketiga adalah bagian konflik dan perlawanan atas kesadaran itu.
Pembagian atas
tiga bagian ini membuat pembaca dapat memahami betul apa yang dirasakan Minke.
Dengan demikian, pembaca mau untuk ikut dan larut dalam petualangan yang
dialami oleh Minke. Saya bisa merasakan kemarahan, kegeraman, atau kegamangan
yang dialami oleh Minke dalam berkonflik.
Risiko untuk
pembentukan karakter ini adalah, ceritanya terasa menumpuk di akhir. Konflik di
akhir buku terasa sangat padat dan terburu-buru untuk diselesaikan.
Pram kembali mampu
menarik pembacanya ikut petualangan dan pertumbuhan intelektual dari Minke. Anak
Semua Bangsa mampu memberikan kegelisahan sekaligus pemahaman tumbuhnya
nasionalisme di kalangan terpelajar kala itu. Saya tidak sabra ikut lagi
berpetualang Bersama Minke di Jejak Langkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar