Apa kabar teman-teman kali ini? Apakah teman-teman sudah mulai berani untuk bepergian, makan di tempat, atau hal-hal lain yang saat Covid sedang parah menjadi kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan? Rasanya laju vaksiniasi berhasil menekan tingkat penyebaran Covid dengan sukses.
Jalanan Jakarta pun kembali merayap. Tempat makan, café, bahkan tempat pariwisata mulai penuh dengan pengunjung. Denyut Jakarta kembali hidup walau tak akan sempurna seperti dulu. Aku tahu, bahwa denyut ini memakan biaya yang tidak sedikit. Banyak diantara kita, termasuk aku, kehilangan sahabat, teman, atau bahkan keluarga. Sebuah denyut yang dibayar sangat mahal.
Denyut yang
kembali hidup ini aku manfaatkan dengan memberanikan diri untuk bepergian ke
luar kota. Aku ingin mengambil jeda sejenak untuk mengkalibrasi hidupku di luar
Jakarta. Aku memilih Solo sebagai kota untuk aku beristirahat. Kota yang aku pikir
punya kecepatan hidup yang tak sekencang Jakarta, riuhnya tidak terlalu bingar,
dan keramahannya tidak aku ragukan.
Ada satu alasan
lagi yang membuat aku memilih Solo. Aku menganggap Solo ini punya kedekatan akar
budaya dan emosional dalam diriku. Almarhum ayahku sangat menyukai kota ini.
Mungkin karena ini tempat dia kuliah. Waktu aku kecil, dia seringkali mengajak
keluarga kami untuk jalan-jalan di kota ini, dan menginap di hotel yang selalu
sama. Aku juga menganggap Solo mempunyai budaya Jawa yang masih kuat. Kegelisahaanku
mengenai kehilangan akar jati diri sedikit terobati.
Berangkat dari
Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, aku menaiki pesawat ke Solo. Setelah mendarat
dan menitpkan tasku di hotel, aku menuju tujuan pertamaku, pasar buku bekas.
Kenapa pasar buku bekas? Aku berpikir buku bekas dapat menjadi jembatan antara
aku dengan ajaran kebudayaan jawa yang didominasi oleh teks bahasa kuno. Aku
menemukan beberapa buku yang mengulas syair jawa kono yang dilengkapi terjemahan
dan maknanya. Aku senang sekali dengan buku ini. Kapan-kapan aku akan
mengulasnya.
Tujuan kedua
adalah kuliner. Aku janjian dengan sahabat satu kantor asal Solo, Tyas, untuk
makan siang di tengkleng Bu Edi. Aku masih mengingat dengan jelas bahwa
tengkleng ini tutup saat aku mengunjungi Solo dua tahun lalu. Akhirnya aku bisa
merasakan masakan yang legendaris ini.
Pasar buku
bekas dan kuliner Solo memang menyenangkan, tapi kehidupan kota ini sendiri
sangat mempesona. Kamu masih bisa menemukan supir Gojek yang menyapamu dengan
sangat ramah. Menikmati wedangan di malam hari sambal mengobrol dengan hangat Bersama
penjualnya. Keheningan kota jika kamu jalan-jalan di malam hari. Tidak ada
kemacetan atau klakson tanda ketidasabaran di siang hari. Suasana ini mengkalibrasiku
tentang kewarasan dan hidup tenang.
Total aku
menghabiskan 5 hari di sana. Aku harus segera kembali ke Jakarta. Selain aku
tak mau tagihanku terus membengkak, aku takut terlalu jauh dari Jakarta. Takut
kaget ketika aku harus kembali ke Jakarta.
Terima kasih Solo
atas kenangan dan ketenangan.
Jakarta, 9
Oktober 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar