Apa yang paing tidak menarik menjadi dewasa lalu menjadi tua? Kita bisa menyebut sederet hal-hal yang tidak menyenangkannya menjadi tua. Tagihan, cicilan, tumpukan pekerjaan, tanggung jawab sosial, dan keluh kesah lainnya. Rasanya makin tua, makin banyak keluhan yang bisa terucap. Ada beberapa momen kita merindukan masa kecil kita, atau setidaknya masa sekolah.
Salah satu yang
menjengkelkan dari bertambahnya umur menurutku adalah semakin jauh kita
terhadap suatu momen manis. Ada yang mengibaratkan kita menjatuhkan kertas yang
terbakar ke dalam sebuah sumur. Di bagian atas, kita masih bisa melihat dengan
jelas nyala api. Semakin dalam maka semakin buram. Hingga di satu titik, kita tidak
melihat lagi.
Begitu juga
dengan momen manis. Semakin lama, semakin buram, hingga suatu titik kita tidak
bisa mengingat kembali. Bisa juga semakin lama, perasaan kita terhadap momen
itu semakin berubah. Masih ingat rasanya dulu saat aku baru lulus SMA dan
teman-teman kita terpencar untuk kuliah di kota masing-masing, kita masih sangat
merindukan satu sama lain. Kita merindukan momen indah semasa sekolah. Makin
lama, momen itu mulai menghilang dan rasa itu mulai berubah. Reuni yang dulu
adalah kegiatan yang dinantikan, sekarang tidak terjadi lagi.
Makin lama, orang
yang ada pun makin berkurang. Masih ingat momen lebaran saat kecil? Mungkin ada
orang tua kita, kakek, nenek, paman, bibi dan keluarga besar lainnya. Sekarang,
berapa orang yang masih ada? Satu per satu, mereka meninggalkan kita. Tentu ada
orang baru yang datang, tapi akan merubah suasana. Jagoan kita saat kecil,
makin lama makin menua dan melemah. Ah, ini yang paling menjengkelkan.
Bisakah kita
mengulang sebuah momen? Tidak mungkin. Meski kita mengumpulkan orang yang sama
di tempat yang sama. Kita berkumpul pasti dengan beda konteks, beda isi kepala,
dan beda kepentingan dibanding dengan momen yang kita maksud. Pasti rasanya
beda, karena yang kita kangenin bukan orang dan tempat, tapi momen.
Setiap orang
menyikapi sebuah momen dengan berbeda-beda. Dengan berubahnya isi kepala dan
kepentingan, makin besar perbedaaan sikap orang terhadap sebuah momen tersebut.
Meskipun orang itu adalah orang dekat kita. Ada yang masih terkurung dalam
momen manis itu, ada yang sudah biasa saja, ada yang berubah membencinya.
Apa akibatnya
kalau kita masih terkurung dalam momen manis masa lalu? Pertama, kita tidak
bisa menikmati apa yang ada saat ini. Momen manis di masa lalu memang bisa jadi
barometer apa yang baik untuk kita, namun kuasa kita terbatas dalam menentukan
apa yang terjadi. Memaksa mendapatkan kejadian dan perasaan yang sama. Kita
sampai lupa apa yang perlu kita perbaiki di saat ini. Orang yang terperangkap
pada masa lalu bisa mengakibatkan masalah untuk diri sendir dan orang-orang di
sekitarnya.
Kedua adalah
ada barang yang mungkin kita tumpuk dengan alasan mempunyai kenangan, pada
akhirnya tidak produktif. Saat ini kita tidak mempunyai alasan mempertahankan
barang tersebut, namun kita terus menumpuknya. Akibatnya rumah kita menjadi
lebih penuh. Itu sangat bisa mengakibatkan pikiran kita ikutan penuh dan tidak
jernih.
Akhirnya kita
kembali ke diri kita masing-masing dalam memandang sebuah momen. Kalau bagiku, aku
belajar memaknai momen menjadi sebuah kejadian untuk dikenang. Cukup. Tidak berharap
untuk diulang, tidak dikutuk sambil marah-marah, atau tidak untuk disesali. Hidup
ini garis lurus. Tidak ada kesempatan untuk mengulang, memperbaiki, atau
menghindari. Jadikan momen manis itu sebuah kenangan. Jika ada pelajaran, ambil
untuk menjadi lebih baik ke depannya.
Hal kedua yang
bisa kulakukan adalah belajar hidup di waktu saat ini. Live the moment kalau
orang bilang. Hadir utuh di saat ini. Melihat dengan detail yang ada sekarang,
dan menghadirkan seluruh nyawa, pikiran, dan perasaan untuk hadir bersama tubuh
saat ini.
Upaya tersebut
tentu membutuhkan usaha yang keras dan waktu. Tidak mudah keluar dari perangkap
momen manis di masa lalu. Upaya harus dilakukan terus-menerus agar kita bisa
sepenuhnya memandang momen manis masa lalu hanya sebagai kenanangan.
Mengapa aku
menulis tentang kenangan, karena aku baru selesai membaca sebuah novella berjulu
“Semasa” karya Teddy W Kusuma dan Maesy Ang. Ulasannya akan aku buat di kiriman
selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar