Lagu itu mulai mengalun saat es di kopiku mulai mencair setengahnya. Buku yang kubaca kutaruh sebentar. Kupasang dengar lebih tajam dari biasanya. Sang penyanyi mulai melantunkan liriknya. Begini kata Nadin Hamizah dalam Bertaut.
Bun, hidup berjalan seperti bajingan
Seperti landak yang tak punya teman
Kubiarkan lagu
itu berlalu, sambil kukenang dalam liriknya.
Di kesempatan
lain, aku dan seorang sahabat berada di Bali. Kami hendak pergi ke Tulamben
dari posisi kami di Ubud. Kucari rute terbaik di Google Map. Aku diarahkan oleh
peta elektronik ini ke arah utara melalui Danau Batur. Awalnya kami sangat
menikmati perjalanan ini. Melalui desa asri, persawahan terhampar luas, dan jalanan
mulus tapi sepi. Ada saatnya kami menyusuri tepian Danau Batur dengan hawa yang
sejuk.
Permasalahan
dimulai setelah kawasan Danau Batur. Jalanan mulai mendaki dan sulit. Di
beberapa titik, sepeda motor kami yang 150cc bahkan tidak kuat mengangkat kami
berdua. Sebagai yang punya badan besar dan lebih gampang dipersalahkan mengenai
beban, akhirnya aku turun dan jalan kaki sampai di titik motor kembali normal.
Di titik lain, kami melewati turunan curam yang sedikit saja terlambat
mengerem, kami tidak akan bisa menikmati Nasi Kedawetan Ibu Mangku selepas
pulang.
Singkat kata
kami sampai ke Tulamben. Aku iseng mengganti warna peta menjadi indeks
ketinggian. Aku baru sadar kami dilewatkan gunung. Sebuah tempat yang menjadi
pilihan tak bijak untuk dilalui motor matic. Saat pulang, aku memilih jalur
lain yang lebih manusiawi walau jauh memutar.
Peta memang tak
menggambarkan kenyataan secara detail. Ada faktor kompleks yang dipangkas untuk
mendapatkan kesederhanaan penjelasan. Kita tidak bisa mengandalkan peta
sepenuhnya, namun dia bisa menjadi alat bantu. Tidak sepenuhnya akurat, tapi
cukup bisa menjelaskan. Peta itu termasuk jenis pemodelan.
Pun dengan
analogi. Kita sering menggunakan perandaian untuk menyederhanakan penjelasan yang
disampaikan ke seseorang agar lebih mudah dipahami. Seperti dalam teknik pemodelan
lain, banyak faktor yang dipangkas untuk mendapatkan kesederhanaan. Untuk menjelaskan
lebih detail, kamu harus menarik lagi penjelasanmu dari analogi tersebut kembali
ke kenyataan.
Hal yang aku
benci dari analogi adalah menganalogikan persoalan hidup. Banyak analogi hidup
yang kita dengar sejak kita mulai ditampar kenyataan. Dengan niatan meringankan
penderitaan kita, orang lain mulai berceramah tentang hidup menggunakan analogi.
Hidup itu bagaikan….
Dalam
pengandaian itu, banyak faktor yang dipangkas seperti kondisi perasaan, situasi
pendukung, reaksi orang sekitar, atau keberuntungan tidak berpihak. Kita dipaksa
untuk tidak menjejakkan kaki di persoalan sebenarnya hanya untuk mengejar
kesederhanaan pikirian. Seolah persoalan yang kita hadapi itu jalan lurus dan
datar seperti pemodelan peta sederhana.
Kesalahan pemilihan
analogi menjadi hal yang menyebalkan kedua. Untuk mengacaukan persoalan
sebenarnya, ada yang memilih analogi yang sama sekali tidak menggambarkan
keadaan yang terjadi. Pendengar digiring untuk masuk ke analogi yang disampaikan
dan meninggalkan jauh inti persoalan sebenarnya.
Hal yang menyebalkan
lagi adalah, kita cenderung menggambarkan diri kita menjadi tokoh protagonist
dalam cerita analogi tersebut. Melindungi diri dan keengganan untuk menunjuk
hidung siapa yang bermasalah menjadi latar kenapa kita cenderung menggambarkan
diri kita sebagai pahlawan atau korban dalam sebuah analogi. Kita tidak pernah
menggambarkan diri kita menjadi kurawa atau sengkuni dalam cerita mahabarata,
padahal kita sangat mungkin lebih berangasan dari pada kurawa dan lebih licik dari sengkuni.
Hadapi saja kenyataan
hidup yang ada. Tunjuk saja di mana titik yang busuk. Bukan untuk menyerah,
namun untuk memperbaiki. Aku benci saat kita menipiskan kenyataan. Kita tidak
bisa menutupi bau bangkai dengan tumpukan bunga melati.
Es dalam gelas
kopi susuku terus mencair. Gelasnya mulai berembun banyak. Lagu itu terus megalun
sampai habis hingga berganti lagu lain. Liriknya masih tersisa di ingatan. Apakah
hidup sesederhana di lirik lagu itu? Hidup belum tentu berjalan seperti
bajingan, karena sangat mungkin lebih jahat dan lebih menyakitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar