Beberapa tahun terakhir, ada wacana untuk memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan. Mencari kota pengganti yang tidak layak huni bukan merupakan hal baru bagi Jakarta. Orang-orang VOC sudah melakukannya di akhir abad 18. Mereka mencari kawasan yang lebih layak huni dan meninggalkan kawasan yang lama.
Pada akhir abad
18, Batavia mengalami kemunduran. Kemunduran ini disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama adalah kemunduran industri gula di Batavia. Industri gula yang menopang
Batavia merosot karena pembantaian dan pengusiran orang Cina pada tahun 1740,
padahal orang Cina merupakan petani dan pekerja utama industri gula di Batavia.
Orang Eropa saat itu tidak mempunyai pengalaman dan budaya untuk bertani,
sehingga industri gula tidak tertolong. Artinya ekonomi penyangga kota Batavia
juga runtuh.
Penyebab kedua
adalah sistem kanalisasi yang tidak bekerja maksimal. Batavia dibagun dengan
konsep semirip mungkin dengan Amsterdam. Kanal-kanal air dibangun di kota
Batavia untuk berbagai keperluan seperti transportasi dan drainase. Hal yang
tidak disadari adalah, tanah di Batavia (dan Jakarta bagian utara) adalah tanah
rawa. Tanahnya cenderung berlumpur. Ditambah lagi aliran lumpur dari sisi hulu
karena pembabatan hutan. Akibatnya kanal di Batavia sering menjadi genangan
lumpur dan air. Tidak mengalir. Akibatnya banyak penyakit yang muncul karena
genangan air. Penyakit paling masif saat itu adalah malaria. Penyakit ini juga yang
membunuh JP.Coen, pemimpin VOC saat itu
Semakin tidak
layak huni Batavia dan semakin berkembangnya daerah di luar kota Batavia
seperti kanal Molenviel (sekarang Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk), mereka
membuka kemungkinan memindahkan konsentrasi kota ke daerah Weltervreden.
Untuk gambaran, daerah Weltervreden ini membentang dari RSPAD Gatot Subroto
sampai Museum Gajah, dengan Koningsplein (Lapangan Raja/Lapangan Merdeka/Lapangan
Monas) sebagai pusat daerah. Weltervreden juga bisa merujuk ke daerah
sekitar Lapangan Banteng. Dengan cepat menjadi daerah elit bagi bangsa Eropa.
Bagaimana
dengan nasib Batavia? Mereka masih menggunakannnya sebagai daerah kantor
pelabuhan. Siang hari, masih ramai orang untuk bekerja di daerah Batavia, namun
malam hari Batavia menjadi sepi. Hanya orang Jawa dan Cina yang tidak mampu membeli
rumah di Weltervreden yang tinggal di Batavia. Tembok yang mengelilingi Batavia diruntuhkan. Bata-bata bekasnya digunakan Daendles, Gubernur Jendral saat itu, untuk membangun calon istananya (sekarang gedung Kementerian Keuangan)
Sampai
sekarang, Weltervreden tetap menjadi kawasan penting bagi Jakarta. Di sana
berdiri kantor-kantor pemerintahan pusat, termasuk istana presiden. Namun, hal
ini tidak lama lagi juga akan ditinggalkan. Apakah pendekatan ini akan kita
terus pakai? Semoga tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar