Minggu lalu, saya senang ketika teaser Beginu minggu lalu keluar. Saya menyaksikan di akun Instagram milik Wisnu Nugroho. Bintang tamu kali ini adalah tokoh senior di industri media cetak, Dahlan Iskan. Dari teasernya tergambar bahwa Pak Dahlan akan bercerita tentang Jawa Pos. Oh, mungkin karena menyambut Hari Pers, pikir saya. Setelah video penuhnya terbit, benar saja Pak Dahlan bercerita tentang Jawa Pos dan pers.
Saya begitu
senang karena Pak Dahlan dan Jawa Pos adalah dua hal yang sangat berpengaruh di
hidup saya. Khususnya di bagian kehidupan literasi. Kegemaran saya membaca dibentuk
salah satunya oleh Jawa Pos. Untuk hal-hal menulis blog dan opini, saya
mencontek banyak dari tulisan Pak Dahlan. Dalam tulisan ini, saya akan
bercerita lebih dalam tentang Pak Dahlan dan koran yang dibesarkan beliau itu.
Untuk diketahui
konteksnya, sepengamatan saya saat kecil, ada dua koran yang paling sering
dibaca di Jawa Timur, Jawa Pos dan Surya. Jawa Pos menempati koran
dengan harga yang mahal, setara dengan Kompas. Untuk Surya, dia mengisi pasar
yang lebih murah. Itu sepengamatan saya saat kecil, saya tidak menemukan data
pastinya.
Ayah saya
adalah orang yang juga suka membaca, walau sepenglihatan saya tidak terlalu gemar
membaca banget. Hal yang pasti dia baca tiap hari adalah koran. Setiap pagi di
sela jam kerja, dia membaca koran. Dia berlangganan koran dan koran itu adalah
Jawa Pos. Setiap pagi sejak saya TK, saya melihat wujud Jawa Pos di rumah saya.
Saya lupa persisnya
kapan saya mulai membaca koran. Jika saya tebak, mungkin kelas 5 SD akhirnya
saya ikutan membaca koran. Semenjak saat itu, saya rutin membaca Jawa Pos. Saat
SMP saya selalu rebutan membaca Jawa Pos dengan Pak Satpam di perpustakaan sekolah
sebelum masuk kelas. Saat SMA, saya membaca Jawa Pos di rumah setelah pulang
sekolah. Hal itu berlanjut sampai saya lulus SMA.
Saat kuliah di
Bandung, saya tidak membaca Jawa Pos. Jawa Pos tidak dijual di pedang koran dekat
kampus. Saya tidak tahu apakah Jawa Pos memang tidak dijual di Bandung ataukah
memang mamang penjual koran tidak
mengambil Jawa Pos. Akhirnya saya berpindah ke Kompas di awal bulan dan Koran
Tempo di akhir bulan.
Balik lagi ke
Jawa Pos, saat itu Jawa Pos dibagi menjadi tiga bagian. Bagian utama, Radar
Kediri, dan Olahraga. Mungkin pada bagian utama, saya membaca sebagian besar
artikel, baik dari politik, ekonomi dan internasional. Mungkin yang saya agak sering
lewati adalah di bagian ekonomi bisnis karena banyak istilah yang saya belum
paham saat itu. Untuk bagian Radar Kediri, saya membaca selintas saja karena
saya tidak terlalu terarik dengan berita lokal. Saya tidak pernah menyentuh
bagian olahraga, karena memang saya tidak tertarik dengan olahraga.
Dari membaca Jawa
Pos mulai SD hingga SMA itulah daya tahan saya dalam membaca terlatih. Saya
bisa duduk cukup lama untuk membaca Jawa Pos. Hal itu berdampak ke kegemaran
saya membaca buku saat dewasa. Itulah mengapa saya menyebut jawa Pos adalah hal
yang sangat berpengaruh di hidup saya. Apakah saya masih membaca koran? Saya
menuliskannya di kiriman ini.
Saya kadang
membaca rubrik Catatan Dahlan Iskan, kolom yang diampu oleh sang CEO sendiri. Rubrik
ini ada seminggu sekali. Saya mulai rutin membaca Catatan Dahlan Iskan ketika
beliau menceritakan pengalamannya dalam menjalani transplantasi hati. Saat itu,
beliau menderita sirosis sehingga hati miliknya harus diangkat dan diganti oleh
hati milik pendonor. Pengalaman beliau menjalani pengobatan di Tiongkok inilah
yang beliau tuliskan di Catatan Dahlan Iskan. Diberi judul khusus, yaitu Ganti
Hati. Pada akhirnya, kumpulan catatan ini diterbitkan dalam buku berjudul Ganti
Hati.
Saya begitu
menyukai tulisan beliau. Strukturnya enak, ringkas namun tetap menampilkan
hal-hal detail dan kecil. Saya merasa tidak membaca opini yang njlimet padahal kadang
topiknya berat. Saya seperti didongengin seseorang dalam penuturannya. Kekuatan
tulisan beliau ada pada kemampuan story telling yang sangat kuat dan mengalir.
Hal yang paling
saya sukai dari tulisan beliau adalah opininya berani dan otentik. Beliau tidak
takut mengemukakan pendapat walau pendapatnya tidak jamak di khalayak. Dengan argument
yang runtut, beliau dapat menjelaskan alasan di balik pernyataan sikap. Kedua
adalah, beliau sering mengambil sudut pandang yang tidak umum. Seringkali sudut
pandang yang tidak terpikirkan oleh saya.
Dari
tulisan-tulisan beliau saya belajar tentang struktur penulisan dan gaya bahasa
di awal saya nulis blog. Bahkan saya contek struktur tulisannya. Saya ingin
menjadi Dahlan Iskan singkat kata. Tentu saja tidak pernah sebaik beliau, tapi
setidaknya saya berlatih menulis dengan struktur yang tidak awut-awutan.
Beliau saat ini
masih menulis setiap hari di Disway, sebuah media yang beliau dirikan. Gaya
tulisannya berubah menyesuaikan karakter pembaca saat ini. Walapun saya lebih
menyukai tulisan beliau yang dulu, beliau tidak kehilangan nakalnya dalam
beropini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar