Namanya harus disamarkan menjadi Ketuhanan saat dia mengajukan rancangannya ke panitia pembangunan. Panitia diketuai langsung oleh Presiden Soekarno sedang memilih rancangan terbaik yang akan menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara tersebut. Di akhir perlombaan, pemenang dari sayembara itu diumumkan dari 22 arsitek yang mengumpulkan karya. Arsitek dengan nama asli Friedric Silaban memenangkan sayembara pembangunan Masjid Istiqlal.
Masjid Istiqlal
ini didasari oleh usulan beberapa tokoh Islam kepada menteri Agama saat itu.
Ibukota Indonesia baru saja pindah ke Jakarta. Sebagai ibukota negara, Jakarta
belum mempunyai masjid yang besar. Menteri Agama menyambut baik usulan
tersebut. Usulan itu disampaikan ke Presiden Soekarno. Soekarno juga sepakat
dengan usulan tersebut, bahkan beliau ingin menjadi ketua panitia sayembara
desain Masjid Istiqlal.
Dipilihlah
lokasi di Taman Wijaya Kusuma, sebuah taman dengan bekas benteng Belanda di
atasnya. Pembangunan dimulai pada tahun 1961. Dikarenakan gejolak politik di
masa transisi kekuasaan, pembangunan masjid tersendat. Pembangunan Masjid Istiqlal
memakan waktu hingga 17 tahun. Pada akhirnya, Masjid Istiqlal diresmikan oleh Presiden
Soeharto pada tahun 1978 dengan menelan biaya sebesar Rp. 7.000.000.000,00
(tujuh miliar rupiah) dan US$. 12.000.000.
Rancangan
Silaban ini sangat khas dengan bentuk geometri sederhana. Dia sangat sadar terhadap
iklim dan cuaca. Dibuatlah sirip dan kolom untuk tepian masjid agar panas dari
matahari dapat tertahan, namun angin dapat masuk ke dalam. Cahaya matahari juga
bisa masuk lewat celah kolom. Selasar dibikin agak miring agar saat hujan,
tampias air dapat mengalir dan lantai bisa segera kering. Seperti rancangan zaman
Soekarno lainnya, gedung ini mengandung makna seperti tinggi Menara, jumlah tiang,
jumlah lantai dan diameter kubah.
Silaban
merancang Istiqlal dengan jenis bahan yang sangat sedikit. Bahan utamanya
hanyalah beton, baja, dan marmer. Dengan penggunaan bahan yang kuat terhadap perubahan
cuaca ini, diharapkan masjid ini dapat bertahan hingga waktu yang lama. Penggunaan
bahan ini juga mempertimbangkan iklim di Jakarta. Bahan-bahan ini dapat menahan
panas sehingga jamaah dapat beribadah dengan nyaman walaupun tanpa adanya
pendingin.
Ngomong-ngomong
soal kubah, Silaban menggunakan pipa-pipa
baja kecil yang disusun menggunakan prinsip polyhedron. Saat itu, hanya negara
maju yang bisa membuat bangunan seperti itu. Karena itu, Silaban beserta
panitia berkonsultasi langsung ke Jerman. Ada tantangan sendiri dalam
menggarap kubah ini. Kesuksesan Silaban dan tim ini membuat kubah tersebut
dikenal sebagai Silaban Dome.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar