Awalnya saya mengenal bangunan ini sebagai tempat pementasan yang sering dipakai oleh Teater Koma. Letaknya ada di pojokan dekat Pasar Baru. Hanya itu. Saya tidak terlalu tertarik mengenal lebih jauh. Untuk urusan gedung teater, saya lebih kenal dan lebih “dekat” dengan Graha Bakti Budaya (GBB) di Taman Ismail Marzuki, bukan gedung ini. Mungkin karena penampilan tater di sana memiliki kecenderungan tiketnya lebih mahal dari yang digelar di GBB. Begitu kesan pertamaku tentang Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Akhirnya
kesempatan saya berkenalan lebih dekat dengan GKJ terjadi pada bulan Juni 2017.
Saat itu TEDx Jakarta akan menggelar acara di GKJ. Sebagai salah satu relawan,
saya datang ke GKJ untuk survey lokasi. Begitu masuk, saya kagum betul dengan
tempat ini. Desain yang menganut romawi ini begitu megah. Langsung terbayang
saat era kolonial, tempat ini menjadi tempat penampilan kesenian untuk orang
Eropa. Tuan dan Nyonya Belanda menonton pertunjukan kesenian di gedung ini.
Gedung ini diinisiasi
oleh Gubernur Jendral Herman Williem Daendles. Setelah dia menginisiasi
pemindahan pusat kota dari Batavia Lama (Kota Tua) ke Kawasan Welte Vreden
(Lapangan Banteng), dia mulai memikirkan sarana pendukung untuk kehidupan di
Welte Vreden, salah satunya gedung kesenian. Sayang, sebelum terwujud, Perancis
kalah perang dengan Inggris, maka posisi Daendels digantikan oleh Sir Thomas
Stamford Bingley Raffles. Di masa Raffles lah gedung ini berdiri dengan nama Schouwburg
Weltevreden.
Awalnya gedung
ini berdiri menggunakan bahan yang sangat sederhana. Berdinding bambu dan kayu beratap
rumbia. Pada tahun Pada tahun 1817 mulai dibangun gedung yang ideal menggunakan
bahan sisa reruntuhan benteng Batavia lama. Mulai dari saat itu, gedung itu
mulai aktif menampilkan berbagai pertunjukan kesenian untuk orang Eropa di
Batavia.
Gedung ini
beralih fungsi dari masa ke masa. Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini
difungsikan untuk markas tantara dan pusat penyebaran propaganda. Sejak jaman
kemerdekaan pun gedung ini sering beralih fungsi mulai dari gedung kuliah
fakultas ekonomi dan fakultas hukum Universitas Indonesia hingga menjadi gedung
bioskop. Pada 1984, Gubernur Soeprapto mengembalikan fungsi gedung ini sebagai
gedung pertunjukan kesenian.
Hingga saat
ini, GKJ masih sering dimanfaatkan untuk menampilkan berbagai pertunjukan
kesenian mulai dari teater, tari, balet, dan kesenian lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar