Setelah di tulisan sebelumnya saya melakukan refleksi selama saya tinggal di Jakarta, izinkan kali ini saya membagi awang-awang ke depan. Awang-awang yang berupa harapan dan kekhawatiran sekaligus. Saya membagi menjadi tiga bagian utama: Perpindahan Ibukota, Iklim, dan kesempatan hidup. Tulisan ini juga sebagai penutup seri #30HariBercerita tentang Jakarta.
Saya pernah
diskusi dengan beberapa orang tentang isu perpindahan ibukota Indonesia. Kami
tidak membahas alasan, kajian dan anggaran. Biarlah itu jadi urusan bapak-bapak
di atas sana. Kami membahas pertanyaan besar, “Bagaimana wajah Jakarta tanpa
gelar DKI?” Kami ngobrol ngalor ngidul tentang ini, namun kesimpulan kami sama.
Jakarta akan tetap menjadi Jakarta. Jakarta sudah mempunyai identitas dan
kepribadian lebih dari gelar DKI.
Dengan
pindahnya ibukota, kamu akan tetap menemui tetanggamu yang jualan nasi uduk.
Kamu masih bisa menyapa abang penjaga warkop favoritmu. Jakarta juga masih
punya Monas. Pasar Minggu tetap tidak libur walau hari minggu. Kami menduga,
seluruh kehidupan dan interasi sosial tidak mengalami pergeseran yang berarti. Hanya
para abdi negara yang akan terdampak karena harus pindah. Dari itu semua, kami
berharap dengan pindahnya para pejabat ke ibukota baru, voorijder yang
menyebalkan itu akan lenyap dari jalanan Jakarta.
Bagian kedua
adalah tentang iklim. Tidak banyak orang Jakarta yang menyadari bahwa kehidupan
kota ini terancam dengan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Untuk melihat
orang-orang yang paling terdampak terhadap kerusakan lingkungan, kamu bisa berjalan-jalan
ke Jakarta bagian utara. Penurunan ketinggian tanah begitu masif dan dirasakan
langsung. Mereka terpaksa bersahabat dengan banjir rob.
Belum lagi tentang
krisis air bersih. Cakupan layanan PAM Jakarta baru menyentuh 65% dari total
penduduk (suara.com, 2020). Masih banyak yang kesulitan mengakses air bersih
padahal akses terhadap air bersih merupakan hak setiap warga negara. Akhirnya mereka
terpaksa menggunakan air tanah. Penggunaan air tanah ini akan mempercepat
penurunan ketinggian tanah di Jakarta.
Kualitas udara,
pengelolaan sampah, banjir, pendangkalan sungai dan sebagainya masih menjadi
catatan panjang pekerjaan rumah di bidang lingkungan. Diharapkan pemegang
kebijakan mempunyai roadmap perbaikan dan regulasi akan hal ini. Mengurangi
penggunaan sedotan plastik memang baik, namun regulasi plastik industri akan
berdampak lebih besar.
Hal ketiga
adalah kesempatan hidup. Saya bukan ahli ekonomi, namun ini yang saya lihat dan
rasakan. Akses ekonomi dan akses ruang hidup masih jadi sorotan utama. Berdasarkan
kajian tim Anies-Sandi saat pilkada, kemampuan daya beli kebutuhan pokok
menjadi isu utama bagi penduduk Jakarta. Mungkin tidak pernah terdengar di
sosial media, namun itu kenyataan yang dihadapi.
Untuk kelas
menengah, kesulitan untuk ruang hidup (tempat tinggal) jadi perbincangan.
Melipir ke luar Jakarta menjadi pilihan yang sering diambil walaupun istilah
tua di jalan harus dihadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar