Surat Kangen untuk Internet - Catatan Kecil

Selasa, 06 Agustus 2024

Surat Kangen untuk Internet


 

Andai saya punya mesin waktu di laci meja, saya akan kembali di sekitar tahun 2010 sampai di tahun 2018. Tahun-tahun di mana saya benar-benar menikmati apa yang ada pada dunia internet. Saya hampir bisa menikmati semua platform mulai dari facebook, twitter, blog, dan awal kemunculan Instagram. Saat ini saya masih mempunyai akun di semua platform itu, tapi banyak hal yang saya sukai hilang.

Sebelumnya, ada beberapa hal yang membuat internet berubah. Kurang lebih ada dua hal besar yang mendorong perubahan sosial media khususnya dan internet secara keseluruhan. Pertama adalah perubahan perilaku pengguna. Waktu guna yang lebih singkat. Semakin ke sini, pengguna internet makin cepat bosan dan makin singkat bertahan pada satu konten. Penngguna dengan cepat mengganti konten yang ada di hadapan jika tidak menarik dalam hitungan detik.

Hal kedua adalah teknologi penggambaran profil yang semakin canggih sehingga sosial media hanya menyuguhkan konten-konten yang kita sukai saat itu. Mesin akan membaca kepribadian dan mengurung kita pada dunia yang kita suka pada saat itu. Algoritma juga akan mendorong konten yang berbentuk video. Saat itu kamu suka apa, dan dengan segera konten sejenis yang berbentuk video akan segera membanjiri laman sosial mediamu.

Saya kehilangan banyak hal karena dua hal di atas. Izinkan saya merangkum menjadi dua poin besar. Saya kehilangan teks panjang, dan saya kehilangan gambar keren.

Kamu (milenial) pasti ingat di saat blog sedang merajai konten yang ada di internet. Laman langganan blogmu akan diperbarui hampir tiap hari karena saking produktifnya orang-orang dalam menulis blog. Kontennya beragam, mulai dari cerita kehidupan sehari-hari, wisata, teknologi, hingga reliji. Nama-nama besar seperti Enda Nasution, Bloentankpoer, Raditya Dika, hingga Nukman pernah melintas di layar laptop kita. Tidak hanya didominasi nama-nama besar, blog juga diramaikan oleh personal yang rajin menulis kehidupan sehari-hari. Mungkin hanya keluhan tentang hidup, tapi disajikan secara terstruktur dan kadang kocak.

Saya merasa diceritakan tentang manusia oleh manusia secara manusiawi. Cerita di blog tidak hanya menampilkan kesempurnaan hidup, namun juga sisi lemah manusia. Keluhan yang ditulis secara terstruktur lebih bisa dinikmati dan dirasakan dibanding dengan racauan singkat di twitter. Saya punya hipotesis tentang ini. Seringkali tulisan di blog merupakan luapan emosi yang sudah mengendap dan dicerna oleh alam pikir manusia. Karena itu yang sampai tidak hanya emosi, namun juga argumen dan hasil renungan.

Hal kedua yang hilang adalah gambar indah hasil fotografer yang ada di Instagram. Algoritma Instagram mendorong konten yang kamu suka yang berbasis video ke laman punyamu. Karena itu, fotografer yang tidak pernah membuat video tidak akan pernah lagi muncul di lamanmu. Mereka akan terus tenggelam, dan pada akhirnya mereka akan malas mengunggah konten lagi.

Pernah pada kisar tahun 2018, saya membersihkan Instagram saya. Saya hanya berlangganan dan mengikuti kawan dekat dan fotografer saja. Apa yang terjadi hari ini? Laman saya tidak pernah terlintas foto-foto keren karya fotografer yang saya ikuti. Konten mereka tidak menarik bagi algoritma. Akhirnya tertimbun oleh konten berbentuk video. Tidak heran, beberapa fotografer memaksakan diri membuat konten video, dan menampilkan karya foto mereka dengan format video. Sebut saja Govinda Rumi dan Jerry Aurum. Mereka berinovasi di bentuk konten agar tetap relevan dengan algoritma saat ini.

Pada akhirnya, semua akan berubah bentuk. Blog akan berubah menjadi tulisan yang dibukukan atau dialihmedia menjadi podcast. Foto akan dengan massif ditransformasikan ke format video. Penulis, baik professional maupun amatir,  yang dulu produktif tidak pernah menulis lagi. Begitupun saya. Saya kehilangan kedisiplinan menulis sejak blog sepi.

Entahlah, mungkin ini hanya racauan saya karena saya kangen jaman itu…

 

Cikini, 6 Agustus 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar